Pages

Sunday, February 19, 2012

Memaknai Hikmah


Saat tertimpa musibah atau kesialan, seringkali kita mendengar nasehat, “Semua ada hikmahnya.” Bahkan Rasulullah SAW bersabda yang menjelaskan bahwa hikmah merupakan harta karun kaum muslim yang tercecer. Maka kita berhak untuk mengambilnya dari manapun dia berasal.

Ngomong-ngomong tentang hikmah ini, bersyukurlah jika kita mudah untuk mengambilnya dari kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita. Karena ada banyak saudara-saudara kita yang sampai saat ini dibutakan oleh pandangan fananya tanpa bisa melihat kebaikan dalam kejadian yang ia terima.

Beberapa bulan lalu Mae merasa kesulitan untuk mencari hikmah dibalik musibah yang saya terima. Hal ini disebabkan oleh musibah yang di alami terasa sangat berat bagi Mae. Mae mencari dan terus mencari apa sebenarnya kebaikan yang Allah inginkan dari peristiwa tersebut.



Saat itu Mae mengalami abortus pada kehamilan yang hampir genap berusia enam bulan. Bagaimana tidak sedih, seorang ibu yang anaknya meninggal akibat kelalaiannya. Ya, Mae kadang masih berpikir bahwa apa yang terjadi karena kurang berhati-hati dalam menjaga kandungan. Mae juga menyesal karena dulu mengikuti mood  untuk tidak makan banyak karena rasa mual dan pening yang di alami. Walaupun di akhir-akhir menjelang keguguran Mae sudah lebih bersemangat dan mulai mengatur makan, itu tidak mengurangi rasa bersalah.

Mae bertanya dalam hati, kenapa dulu menunda-nunda menuruti saran beberapa orang untuk memakai kendhit (sejenis selendang panjang untuk mengikat perut, biasa dipakai oleh perempuan Jawa) setiap bepergian hanya karena Mae tidak memiliki kendhit dan tidak tau cara memakainya.

Kebetulan juga saat menjelang hari kejadian, saya disibukkan oleh berbagai kegiatan mempersiapkan pemberkasan CPNS yang saya ikuti. Bisa dibilang, tubuh Mae tidak kuat menanggung aktivitas yang Mae jalani, terutama si janin. Walau saat itu Mae tidak merasa kelelahan.

Ketika hari H, seolah-olah saya harus memilih antara anak dan pekerjaan yang Mae inginkan. Hari itu bertepatan dengan jadwal saya menyerahkan formulir ke panitia. Padahal sebelumnya Mae dan keluarga menganggap keberuntungan diterima bekerja karena berkah kehadiran calon anak saya. “Ini rezeki dedek,” kalimat yang kulontarkan kepada saudara-saudarsaya di rumah. Ternyata dedek sudah pergi sebelum sempat mengecap rezekinya.

Berhari-hari Mae menangis sampai mata Mae bengkak dan sembab. Kehilangan itu sangat terasa karena dia sudah menemami hari-hariku selama tiga bulan (sejak Mae mengetahui kehamilan). Berminggu-minggu Mae merenung dan berusaha mencari-cari hikmah yang bisa kuambil. Terbersit satu dua hikmah, tapi tak mampu menggantikan kesedihanku. Mae percaya ada hikmah yang lebih besar, namun belum mengetahuinya. Kepercayaanku kali ini cukup tipis karena Mae kadang masih tidak bisa menerima peristiwa ini. Sungguh, kesakitan dalam perutku yang begitu menyayat selama hampir 24 jam sebelum janin dikeluarkan, tak ada apa-apanya dibanding sakit hatiku karena kehilangan anak. Mae berusaha meyakinkan diri bahwa semua sudah takdir yang btak bisa diubah walaupun sudah berusaha secara maksimal. Semua sudah tertulis di laukhul mahfudz sejak bertahun-tahun yang lalu, namun Mae masih sulit untuk menerimanya.

Suatu hari saat sedang “mengungsi” dari kamar yang sedang disemprot obat anti nyamuk, suami menonton film Ketika Cinta Bertasbih 2 di laptop sambil makan malam. Karena menemaninya, Mae jadi ikut menyaksikan film tersebut walaupun pada awalnya meledek suami yang mau menonton film-film pink semacam itu. Saat adegan ibu Khairul Azzam meninggal, Anna Althafunnisa datang dan memeluk adik perempuan Azzam seraya berkata yang kira-kira begini, “Setiap kejadian sudah di program dalam laukhul mahfudz, tanggal, hari dan jamnya.” Mae merasa diingatkan oleh Allah melalui tokoh Anna.

Beberapa hari kemudian Mae menemukan novel Ketika Cinta Bertasbih milik suami yang belum pernah kubaca. Kebetulan karena baru menonton filmnya, Maejadi ingin membaca novel aslinya. Disana ada sub judul Rezeki Silaturrahmi. Kupikir selama ini Mae cukup menjaga silaturrahmiku dengan saudara-saudara di Wonosobo. Saya kadang menyempatkan untuk mengunjungi beberapa orang walau itu membuat tak cukup beristirahat.

Saya mengubah paradigma menyedihkan tentang memilih antara anak dan pekerjaan yang menjadi sebab keguguran itu. Saat pengumuman bahwa CPNS diterima, Mae masih berada di rumah Kakek. Agak repot kami mengakses pengumuman karena lokasi kami yang seperti berada di tepi jaman. Setelah kabar bahagia itu datang, kami malah tak bisa tidur memikirkan segala sesuatunya. Esoknya kami sudah kembali ke Jogja untuk mengurus berkas yang diperlukan.

Mae berpikir, mungkin, insya Allah, keberuntungan itu datang karena saya mau silaturahim ke rumah saudara. Terutama karena Kakek kadang merindukanku jika belum kesana. Jika hari itu Mae tidak kesana (yang menurut orang-orang andil dalam keguguranku itu) mungkin pengumuman yang kubaca jadi berbeda.

Mae masih menata hati. Mae berdoa agar jika mengandung lagi, diberi janin yang kokoh dan selamat sampai saat lahir.

Mengambil hikmah itu mudah jika kita percaya bahwa Allah Maha Penyayang dan tak pernah berniat menyengsarakan hamba-Nya. Namun kadang mengambil hikmah terasa sulit ketika musibah terasa  sangat berat dan kita tak cukup percaya dengan kehendak Allah.

0 comments:

Post a Comment